22 February 2015
Mari kita membiasakan diri dalam menerima informasi hendaknya secara lengkap dan tuntas, jangan hanya sepotong-sepotong,sebab nantinya bisa jadi informasinya jadi bias, bahkan menjadi salah kaprah. Jangang hanya membaca judulnya saja kemudian menarik kesimpulan dan pemahaman sendiri. Bahasa jurnalistik terkadang sering dibuat sepotong-sepotong untuk menarik perhatian pembaca untuk membaca dan menggali secara lengkap.
Dua contoh kasus berikut ini, belakangan sedang terjadi di lingkungan kita :
Sertifikasi guru tak harus 24 jam.
Pada sebuah media online diposting informasi dengan judul. " SERTIFIKASI GURU TAK HARUS 24 JAM TATAP MUKA !" Kalau kita hanya membaca judulnya saja maka kita akan langsung menarik kesimpulan bahwa sekarang ini untuk menjamin kevalidan data seorang guru untuk terbit SKTP nya tidak harus memenuhi beban mengajar 24 jam tatap muka. Padahal informasi tersebut kan masih ada tanda komanya. Jadi masih ada kelanjutannya.
Kurang lebih kalau kita kutip secara lengkap “Sekarang pemenuhan 24 jam tidak harus tatap muka tapi bisa ditambah kegiatan lain. Bisa dengan menjadi pembina ekstra seperti KIR [Karya Ilmiah Remaja] bisa juga pramuka. Yang penting ada legalitas kepramukaannya,” kata Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Jogja, Edy Heri Suasana, di ruangannya, Selasa (17/2/2015), seperti yang dilansir oleh www.solopos.com(19/02/2015).
Sebenarnya aturan tentang tidak harus 24 jam tatap muka, bukanlah aturan baru. Sejak lama aturan ini sudah berlaku bagi guru yang memiliki tugas tambahan. Hanya saja tugas tambahan yang bisa dikonversikan ke dalam jam pelajaran masih terbatas sesuai dengan PP No. 74 tahun 2008.
Adapun sekarang dikabarkan akan segera disahkan permendikbud baru yang mengatur bahwa tugas tambahan yang bisa dikonversikan tidak hanya seperti yang tercantum dalam PP no 74 tahun 2008, tetapi juga walikelas, dan pembina ekstrakurikuler.Itupun tidak semua walikelas, hanya guru yg terkena dampak saja.
Jadi kesimpulannya adalah beban kerja guru itu tetap 24 jam. Untuk pemenuhan beban kerja tersebut, bgai guru yang tidak memiliki tugas tambahan, maka wajib memiliki jam tatap muka 24. Sedangkan bagi yang memiliki tugas tambahan yang diakui bisa dikonversikan sebagai jam pelajaran, maka jumlah jam tatap mukanya ditambah konversi jam tugas tambahan sehingga menjapai jumlah minimal 24 jam.
Penilaian Kinerja Guru (PKG) dilakukan oleh Pengawas.
Contoh kasus yang lain adalah, adanya informasi bahwa sekarang ini nilai PKG menjadi “salah satu” syarat penerbitan SKTP dan hanya pengawas yang memiliki tugas dan hak akses untuk mengirimnya ke pusat.
Pemahaman di lapangan sering menjadi bias, bahwa pengawaslah yang bertugas melakukan penilaian terhadap kinerja guru. Padahal sudah dijelaskan bahwa pedoman yang dilakukan untuk melakukan PKG adalah Permendiknas nomor 35 tahun 2010 dan secara lebih teknis dijabarkan pada Buku 2 tentang pedoman Pelaksanaan PKG.
Pada Buku 2 dijelaskan bahwa Penilaian kinerja guru dilakukan di sekolah oleh Kepala Sekolah. Apabila Kepala Sekolah tidak dapat melaksanakan sendiri (misalnya karena jumlah guru yang dinilai terlalu banyak), maka Kepala Sekolah dapat menunjuk Guru Pembina atau Koordinator PKB sebagai penilai. Sedangkan penilaian kinerja Kepala Sekolah dilakukan oleh Pengawas.
Kaitannya dengan nilai yang harus dikirim yang menjadi salah satu syarat penerbitan SKTP, Bp. Asha Roed Andhin memberikan klarifikasi : "Aduh....jangan salah kaprah....bukan pengawas yang menilai..pengawas hanya mengentri. PKG bukan satu satunya syarat, tapi hanya salah satu syarat. Data valid tetap yang utama (JJM, kelengkapan data, kelulusan, dll). Peran OPS masih sangat penting, mari kita fokus dengan tugas masing masing...."
MARI BIASAKAN DIRI MEMBACA INFORMASI SECARA LENGKAP
Mari kita membiasakan diri dalam menerima informasi hendaknya secara lengkap dan tuntas, jangan hanya sepotong-sepotong,sebab nantinya bisa jadi informasinya jadi bias, bahkan menjadi salah kaprah. Jangang hanya membaca judulnya saja kemudian menarik kesimpulan dan pemahaman sendiri. Bahasa jurnalistik terkadang sering dibuat sepotong-sepotong untuk menarik perhatian pembaca untuk membaca dan menggali secara lengkap.
Dua contoh kasus berikut ini, belakangan sedang terjadi di lingkungan kita :
Sertifikasi guru tak harus 24 jam.
Pada sebuah media online diposting informasi dengan judul. " SERTIFIKASI GURU TAK HARUS 24 JAM TATAP MUKA !" Kalau kita hanya membaca judulnya saja maka kita akan langsung menarik kesimpulan bahwa sekarang ini untuk menjamin kevalidan data seorang guru untuk terbit SKTP nya tidak harus memenuhi beban mengajar 24 jam tatap muka. Padahal informasi tersebut kan masih ada tanda komanya. Jadi masih ada kelanjutannya.
Kurang lebih kalau kita kutip secara lengkap “Sekarang pemenuhan 24 jam tidak harus tatap muka tapi bisa ditambah kegiatan lain. Bisa dengan menjadi pembina ekstra seperti KIR [Karya Ilmiah Remaja] bisa juga pramuka. Yang penting ada legalitas kepramukaannya,” kata Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Jogja, Edy Heri Suasana, di ruangannya, Selasa (17/2/2015), seperti yang dilansir oleh www.solopos.com(19/02/2015).
Sebenarnya aturan tentang tidak harus 24 jam tatap muka, bukanlah aturan baru. Sejak lama aturan ini sudah berlaku bagi guru yang memiliki tugas tambahan. Hanya saja tugas tambahan yang bisa dikonversikan ke dalam jam pelajaran masih terbatas sesuai dengan PP No. 74 tahun 2008.
Adapun sekarang dikabarkan akan segera disahkan permendikbud baru yang mengatur bahwa tugas tambahan yang bisa dikonversikan tidak hanya seperti yang tercantum dalam PP no 74 tahun 2008, tetapi juga walikelas, dan pembina ekstrakurikuler.Itupun tidak semua walikelas, hanya guru yg terkena dampak saja.
Jadi kesimpulannya adalah beban kerja guru itu tetap 24 jam. Untuk pemenuhan beban kerja tersebut, bgai guru yang tidak memiliki tugas tambahan, maka wajib memiliki jam tatap muka 24. Sedangkan bagi yang memiliki tugas tambahan yang diakui bisa dikonversikan sebagai jam pelajaran, maka jumlah jam tatap mukanya ditambah konversi jam tugas tambahan sehingga menjapai jumlah minimal 24 jam.
Penilaian Kinerja Guru (PKG) dilakukan oleh Pengawas.
Contoh kasus yang lain adalah, adanya informasi bahwa sekarang ini nilai PKG menjadi “salah satu” syarat penerbitan SKTP dan hanya pengawas yang memiliki tugas dan hak akses untuk mengirimnya ke pusat.
Pemahaman di lapangan sering menjadi bias, bahwa pengawaslah yang bertugas melakukan penilaian terhadap kinerja guru. Padahal sudah dijelaskan bahwa pedoman yang dilakukan untuk melakukan PKG adalah Permendiknas nomor 35 tahun 2010 dan secara lebih teknis dijabarkan pada Buku 2 tentang pedoman Pelaksanaan PKG.
Pada Buku 2 dijelaskan bahwa Penilaian kinerja guru dilakukan di sekolah oleh Kepala Sekolah. Apabila Kepala Sekolah tidak dapat melaksanakan sendiri (misalnya karena jumlah guru yang dinilai terlalu banyak), maka Kepala Sekolah dapat menunjuk Guru Pembina atau Koordinator PKB sebagai penilai. Sedangkan penilaian kinerja Kepala Sekolah dilakukan oleh Pengawas.
Kaitannya dengan nilai yang harus dikirim yang menjadi salah satu syarat penerbitan SKTP, Bp. Asha Roed Andhin memberikan klarifikasi : "Aduh....jangan salah kaprah....bukan pengawas yang menilai..pengawas hanya mengentri. PKG bukan satu satunya syarat, tapi hanya salah satu syarat. Data valid tetap yang utama (JJM, kelengkapan data, kelulusan, dll). Peran OPS masih sangat penting, mari kita fokus dengan tugas masing masing...."
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Postingan Terbaru
Populer Post
Arsip Blog
Artikel Pilihan
Pedoman Pengajuan Usul Penetapan Angka Kredit (DUPAK) Jabatan Fungsional Guru
Disclaimer : Pedoman Pengajuan DUPAK berikut adalah pedoman yang berlaku pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lombok Timur Provins...
Aku hanya guru Go-Blog yang suka berbagi informasi demi kemajuan dunia pendidikan.