30 April 2015

Apa yang ada di benak orang tua ketika mengetahui anaknya mendapat nilai 8 pada mata pelajaran Matematika ?

Sebagai orang tua apa yang ada di benak kita ketika mengetahui bahwa anak kita mendapatkan hasil ulangan matematika dengan nilai “8” ?

Umumnya sebagai orang tua kita akan merasa senang jika anak kita mendapat nilai 8 untuk mata pelajaran Matematika. Cukup masuk akal, karena nilai 8 merupakan nilai yang termasuk katagori cukup bagus apalagi untuk mata pelajaran Matematika.

Akan tetapi perasaan senang dan bangga mungkin saja akan sedikit terusik, ketika kita menanyakan lebih lanjut kepada anak kita, “Teman-temanmu yang lain dapat berapa ?” dan si anak menjawab “Kebanyakan mereka mendapat nilai 9 dan 10 sebagian kecil mendapat nilai 7 dan 8 termasuk saya.”. Persepsi kita langsung berubah setelah berfikir tentang populasi.

Biasanya kita akan berfikir Anak saya pandai Matematika tetapi di dalam kelas kok masih bodoh ? Dari keterangan berbagai sumber bahwa anak tersebut ternyata cara belajar dan tingkat kemampuannya tidak jauh berbeda dengan teman-temannya. Hal ini tentu saja akan menimbulkan tanda tanya bagi kita sebagai orang tua tentang penyebab rendah nilai Matematikanya.
Alternatif yang paling mungkin kita lakukan adalah menanyakan kepada gurunya tentang posisi duduk anak tersebut di dalam kelas. Sebab posisi tempat duduk dapat mempengaruhi tingkat penyerapan siswa  terhadap materi pelajaran yang disampaikan  Setiap titik lokasi tempat duduk memiliki arti. Jika anak tersebut posisi duduknya di belakang, kemungkinan orang tua akan meminta gurunya untuk melakukan rotasi tempat duduk.
Kegiatan-PBM-di kelas
semua titik (tempat duduk siswa) ada maknanya
Akan tetapi perlu diingat bahwa semua siswa di dalam kelas tersebut memiliki orang tua. Permasalahan akan muncul jika semua orang tua meminta kepada guru agar anak-anak mereka duduknya di depan semua, maka yang duduk di belakang siapa ? Inilah yang disebut dengan istilah analisis spasial, bahwa semua titik ada maknanya.

Jadi sebenarnya ada tiga pertanyaan simpel yang selama kita lakukan terhadap anak kita, yaitu :
  1. berapa nilainya
  2. bagaimana dengan nilai teman-temannya
  3. Di mana posisi duduknya.
Secara teori ternyata apa yang kita lakukan itu adalah sebenarnya adalah mengembangkan logika matematika, statistik dan spasial. Jika di dalam kelas nilainya semua 7, maka tidak perlu analisis spasial karena kondisi kelas homogen. Tetapi begitu muncul rata-rata dan deviasi maka akan timbul variasi. Dalam kondisi ini maka kita perlu memetakan, masalahnya di mana ?

Jika dikaitkan dengan pendataan, sebenarnya pola fikir matematik, statistik dan spasial itu adalah suatu metodologi bagaimana kita membuat suatu informasi bagi pimpinan, berdasarkan data yang benar, jika data yang kita jadikan dasar itu salah maka informasi yang kita sampaikan tentu saja akan salah.

Metodologi itu yang harus dikemas, sehingga data yang kita kumpulkan selama ini, bagaimana caranya dieksport agar menjadi sebuah informasi. Oleh karena itu harus ditentukan dulu indikatornya. Misalnya nilai Matematika pada ilustrasi di atas dapat menjadi sebuah indikator. Jika nilainya kurang berarti kompetensi si anak kurang sebaliknya jika nilainya tinggi berarti menunjukkan kompetensi si anak terhadap pelajaran Matematika juga tinggi secara substansional. Setelah bicara substansi, setelah itu kita bicara masalah populasi, barulah akhirnya kita bicara ruang.

Jadi data-data yang sudah dikumpulkan melalui operator-operator sekolah, sebalum diekspor menjadi sebuah informasi yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan transaksional, harus ditentukan terlebih dahulu indikator-indikatornya.

Disarikan dari paparan Bp Drs. L. Manik Mustikohendro mengenai Data Warehouse Berkelanjutan pada kegiatan Workshop Implementasi Verval Proses Pembelajaran dan Trekking Satuan Pendidikan di Bogor 21-24 April 2015

Aku hanya guru Go-Blog yang suka berbagi informasi demi kemajuan dunia pendidikan.